Friday, November 6, 2009

Sifat 20 (Bahagian I)

Bermula Mu’alim hamba [Buya Abdul Karim bin Muhammad Nur – Kerinci Indonesia] menyusun sebuah kitab yang menjadi pegangan seluruh murid beliau yang ditulis menggunakan huruf jawi (Arab Melayu), mudah-mudahan Allah meredhai dan mengizinkan hamba mengutarakannya dalam forum ini tanpa melanggar adab.

Bismillahirrahmanirrahiim…

Adapun Mubadi ilmu tauhid itu sepuluh perkara:

1. Nama ilmu ini yaitu ilmu Tauhid, ilmu Kalam, ilmu Sifat, ilmu Ussuluddin, ilmu ‘Aqidul Iman

2. Tempat ambilannya : yaitu diterbitkan daripada Qur’an dan Hadits

3. Kandungannya yaitu mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin (kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal menurut bagaimana kepercayaan itu.

4. Tempat bahasannya atau Maudu’nya kepada empat tempat:

a. Pada Zat Allah Ta’ala dari segi sifat-sifat yang wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padaNya dan sifat-sifat yang harus padaNya.

b. Pada zat rasul-rasul dari segi sifat-sifat yang wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padanya dan sifat-sifat yang harus padanya

c. Pada segala kejadian dari segi jirim dan jisim dan aradh sekira-kira keadaannya itu jadi petunjuknya dan dalil bagi wujud yang menjadikan dia

d. Pada segala pegangan dan kepercayaan dengan kenyataan yang didengar daripada perkhabaran rasul-rasul Allah seperti hal-hal surga dan neraka dan hari kiamat

5. Faedah ilmu ini yaitu dapat mengenal Tuhan dan percaya akan rasul dan mendapat kebahagian hidup didunia dan hidup di akhirat yang kekal.

6. Nisbah ilmu ini dengan lain-lain ilmu, yaitu ilmu ini ialah ilmu yang terbangsa kepada agama islam dan yang paling utama sekali dalam agama islam.

7. Orang yang menghantarkan ilmu ini atau mengeluarkannya yaitu, yang pertama mereka yang menghantarkan titisan ilmu tauhid dengan mendirikan dalilnya untuk menolak perkataan meraka yang menyalahi ialah dari pada ulama-ulama yang mashur yaitu Imam Abu Al hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur At Maturidi tetapi mereka pertama yang menerima ilmu tauhid daripada Allah Ta’ala ialah nabi Adam alaihissalam, dan yang akhir sekali Nabi Muhammad SAW.

8. Hukumnya, yaitu fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang yang mukallaf laki-laki atau perempuan mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang harus pada Allah Ta’ala dengan jalan Ijmal atau ringkasan begitu juga bagi rasul-rasul Allah dan dengan jalan tafsil atau uraian

9. Kelebihannya yaitu semulia-mulia dan setinggi-tinggi ilmu daripada ilmu yang lain-lain, karena menurut haditsnya nabi: Inallahata’ala lam yafrid syai’an afdola minattauhid wasshalati walaukana syai’an afdola mintu laf tarodohu ‘ala malaikatihi minhum raakitu wa minhum sajidu, artinya, Tuhan tidak memfardukan sesuatu yang terlebih afdhol daripada mengEsakan Tuhan. Jika ada sesuatu terlebih afdhol daripadanya niscaya tetaplah telah difardhukan kepada malaikatnya padahal setengah daripada malaikatnya itu ada yang ruku’ selamanya dan setengah ada yang sujud selamanya dan juga ilmu tauhid ini jadi asal bagi segala ilmu yang lain yang wajib diketahui dan lagi karena mulia , yaitu Zat Tuhan dan rasul dan dari itu maka jadilah maudu’nya semulia-mulia ilmu dalam agama islam.

10. Kesudahan ilmu ini yaitu dapat membedakan antara I’tikad dan kepercayaan syah dengan yang batil dan dapat pula membedakan antara yang menjadikan dengan yang dijadikan atau antara yang Qadim dengan yang muhadasNya

Ilmu Tauhid

Adapun pendahuluan masuk pada menjalankan ilmu tauhid itu berhimpun atas tiga perkara:

1. Khawas yang lima yaitu, Pendengar, Penglihat, Pencium, Perasa lidah dan Penjabat

2. Khabar Mutawatir, yaitu khabar yang turun menurun. Adapun khabar mutawatir itu dua bahagi:

a. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah orang banyak

b. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah rasul-rasul

3. Kandungannya yaitu mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin (kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal menurut bagaimana kepercayaan itu.

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Aqal

Adapun ‘Aqal itu dua bahagi :

1. ‘Aqal Nazori, yaitu aqal yang berkehendak kepada fikir dan keterangan.

2. ‘Aqal Doruri, yaitu aqal yang tiada berkehendak kepada fikir dan keterangan.

Adapun Hukum ‘Aqal itu tiga bahagi:

1. Wajib ‘Aqal, yaitu barang yang tiada diterima oleh aqal akan tiadanya maka wajib adanya (Zat, Sifat dan Af’al Allah)

2. Mustahil ‘Aqal, yaitu barang yang tiada diterima oleh aqal akan adanya maka mustahil adanya (Segala kebalikan daripada sifat yang wajib, sekutu)

3. Harus ‘Aqal, yaitu barang yang diterima oleh akal akan adanya atau tiadanya (Alam dan segala isinya yang baharu/diciptakan)

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Mumkinun (Baharu Alam)

Adapun yang wajib bagi ‘Alam mengandung empat perkara:

1. Jirim, yaitu barang yang beku bersamaan luar dan dalam seperti, batu, kayu, besi dan tembaga

2. Jisim, yaitu barang yang hidup memakai nyawa tiada bersamaan luar dalam seperti manusia dan binatang

3. Jauhar Farad, barang yang tiada boleh dibelah-belah atau dibagi-bagi seperti asap, abu dan kuman yang halus-halus

4. Jauhar Latief, yaitu Jisim yang halus seperti ruh, malaikat, jin, syaiton dan nur

Wajib bagi Jirim, Jisim, Jauhar Farad dan Jauhar Latief bersifat dengan empat sifat:

1. Tempat, maka wajib baginya memakai tempat seperti kiri atau kanan, atas atau bawah, hadapan atau belakang

2. Jihat, maka wajib baginya memakai jihat seperti utara atau selatan, barat atau timur, jauh atau dekat

3. Berhimpun atau bercerai

4. Memakai ‘arad, yaitu gerak atau diam, besar atau kecil, panjang atau pendek dan memakai rasa seperti manis atau masam, masam atau tawar dan memakai warna-warna seperti hitam atau putih, merah atau hijau dan memakai bau-bauan seperti harum atau busuk

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Hukum Adat Thobi’at

Adapun yang wajib bagi hukum adat Thobi’at yang dilakukan didalam dunia ini sahaja, seperti makan, apabila makan maka wajib kenyang sekedar yang dimakan begitu juga api apabila bersentuh dengan kayu yang kering maka wajib terbakar, dan pada benda yang tajam yang apabila dipotongkan maka wajib putus atau luka.

Dan begitu juga pada air apabila diminum maka wajib hilang dahaga sekedar yang diminum. Adapun yang mustahil pada adat Thobi’at itu tiada sekali-kali seperti makan tiada kenyang, minum tiada hilang dahaga, dipotong dengan benda yang tajam tiada putus atau luka dan dimasukkan didalam api tiada terbakar. Akan tetapi yang mustahil pada adat itu sudah berlaku pada nabi Ibrahim as di dalam api tiada terbakar dan pada nabi Isma’il as dipotong dengan pisau yang tajam diada putus atau luka .

Adapun yang mustahil pada adat itu jika berlaku pada rasul-rasul dinamakan Mu’jizat, jika berlaku pada nabi-nabi dinamakan Irhas, jika pada wali-wali dinamakan Karamah, dan jika pada orang yang ta’at dinamakan Ma’unah dan jika berlaku pada orang kafir atau orang fasik yaitu ada empat macam:

1. dinamakan Istidraj pada Johirnya bagus dan hakikat menyalahi

2. dinamakan Kahanah yaitu pada tukang tenung

3. dinamakan Sa’uzah yaitu pada tukang sulap mata

4. dinamakan Sihir yaitu pada tukang sihir

Mohon ampunan dan RedhaMu yaa Allah,…

Itulah yang telah terdahulu banyak hamba ungkapkan (terlanjur) di topik-topik yang ada dalam BSC ini, untuk selanjutnya hamba, Insya Allah, akan memohon izin dahulu kepada Mu’alim hamba, sebab ada beberapa huraian penting yang hamba wajib meminta izin dahulu pada beliau, diantaranya: Hukum Syara’, Hakikat Makrifat beserta huraian dalil bagi Sifat-Sifat yang wajib bagi ‘aqal tentang keTuhanan:

-Sifat Nafsiyah

-Sifat Salbiyah

-Sifat Ma’ani

-Sifat Ma’nawiyah

lalu dibahagi menjadi dua bahagi:

-Sifat Istighna (28 Aqa’id)

-Sifat Iftikhor (22 Aqa’id)

yang menghasilkan faham hakikat nafi mengandung isbat, isbat mengandung nafi (50 Aqa’id), lalu berlanjut pada huraian Sifat-sifat bagi Rasul, ditambah empat perkara rukun iman (18 Aqa’id), menghasilkan penjelasan aqa’idul iman yang 5 (lima jenis), aqa’idul iman 50, aqa’idul iman 60, aqa’idul iman 64, aqa’idul iman 66 dan aqa’idul iman 68.

Baharulah disimpulkan menjadi 4 rukun Syahadat dan adab-adabnya, serta menjelaskan penjelasan zikir, serta makna asma ALLAH

InsyaAllah….

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

MA’RIFAT

Adapun hakikat Ma’rifat itu berhimpun atas tiga perkara:

1. ‘Itikad Jazam, yaitu ‘Itikad yang putus tiada syak, dzon dan waham

2. Muwafikulilhaq, yaitu Muafakat dengan yang sebenarnya mengikut Al Qur’an dan Hadits

3. Mu’addalil yaitu beserta dalil

Adapun Dalil itu dua bahagi:

1. Dalil naqal (naqli), yaitu Al Qur’an dan Hadits.

2. Dalil aqal (aqli), yaitu aqal kita

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Adapun dalil wujud Allah Ta’ala pada orang awam yaitu Baharu alam seperti firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an : Allahu khaliqu kullu syai’in, artinya: Allah Ta’ala yang menjadikan tiap-tiap sesuatu

Adapun Hakikat Ma’rifat orang yang Khawas :

1. ‘Itikat jazam, tiada syak, dzon dan waham

2. Muwafakat ilmunya, aqalnya dan hatinya dengan jalan Ilham Ilahi

3. Dalil pada dirinya, seperti firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an: wa fii amfusikum afala tubsiruun, artinya: pada diri kamu tiadakah kamu lihat, dan juga Hadits Rasullullah, Man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu, artinya barang siapa mengenal dirinya bahwasanya mengenal Tuhannya.

Adapun Hakikat Ma’rifat orang yang Khawasul khawas:

1. I’tikad jazam, tiada sak, dzon dan waham

2. Muwafakat Ilmunya, aqalnya dan hatinya dengan jalan kasaf Ilahi terkaya ia daripada dalil yakni tiada berkehendak lagi kepada dalil (Aqal dhoruri) terus ia ma’rifat kepada Allah Ta’ala.

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Adapun Ma’rifat itu tiga martabat:

1. Ilmul yaqin, yaitu segala Ulama

2. ‘Ainul yaqin, yaitu segala Aulia

3. Haqqul yaqin, yaitu segala Anbiya

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

SIFAT-SIFAT KETUHANAN

Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:

1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud

2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat

3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam

4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun

Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)

1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun

2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah

SIFAT-SIFAT KETUHANAN

Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:

1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud

2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat

3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam

4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun

Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)

1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun

2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Bahagian I: Sifat Nafsiyah:

Wujud, artinya ada, yang ada itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adum, artinya tiada yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada karena jikalau Allah Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan pada alam ini. Alam ini jadilah statis (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika semua itu (perobahan) terjadi dengan sendirinya.

Jikalau alam ini jadi dengan sendirinya niscaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya yaitu firmannya dalam Al Qur’an:

Allahu kholiqu kullu syai’in

artinya, Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.

Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah ada itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah itu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, artinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat pada makna

Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu : Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati, artinya: hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada dikarenakan dengan suatu karena yakni adanya yaitu tiada karena jadi oleh sesuatu dan tiada Ia terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya sendiri dan tiada Ia berjadi-jadian.

Adapun Wujud itu dikatakan sifat Nafsiyah karena wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti sifat yang lain-lain.

Adapun Wujud itu tiga bahagi:

1. Wujud Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu bersifat Qadimdan Baqa’, inilah wujud sebenarnya

2. Wujud Mujazi, yaitu dzat segala makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala

3. Wujud ‘Ardy, yaitu dzat ‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh, syurga, neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain

Adapun yang Mawujud selain Allah Ta’ala dua bahagi

1. Mawujud dalam ‘alam sahadah, yaitu yang di dapat dengan khawas yang lima seperti langit, bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain

2. Mawujud didalam ‘alam ghaib yang tiada didapat dengan khawas yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan Kasaf kepada siapa-siapa yang dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin, Syaitan, Nur dan lain-lain.

Adapun segala yang Mawujud itu lima bahagi:

1. Mawujud pada Zihin yaitu ada pada ‘aqal

2. Mawujud pada Kharij yaitu ada kenyataan bekas

3. Mawujud pada Khayal yaitu seperti bayang-bayang dalam air atau yang didalam mimpi

4. Mawujud pada Dalil yaitu ada pada dalil seperti asap tanda ada api

5. Mawujud pada Ma’rifat yaitu dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat kepada Allah Ta’ala

Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:

1. Dalil yang didapat dari Khawas yang lima tiada dapat didustakan

2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan

3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan

4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada dapat didustakan

5. Dalil yang didapat daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan

SIFAT-SIFAT KETUHANAN

Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:

1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud

2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat

3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam

4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun

Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)

1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun

2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Bahagian II: Sifat Salbiyah

Adapun hakikat sifat Salbiyah itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, artinya barang yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala yaitu lima sifat:

1. QIDAM, artinya Sedia

2. BAQA’ artinya Kekal,

3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.

4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.

5. WAHDANIAH, artinya Esa

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

1. QIDAM, artinya Sedia

Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Hudusy artinya baharu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia baharu karena jikalau Ia baharu niscaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus, tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, artinya Ia juga yang awal.

Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:

a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala

b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat Ta’ala

c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak

d. Qadim Zamani, yaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun

2. BAQA’ artinya Kekal

Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’ artinya binasa yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.

Adapun yang Kekal itu dua bahagi:

a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala

b. Kekal Ardy, yaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, karena ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga nabi.

3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu

Adapun Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala yang baharu, lawannya Mumassalatuhulilhawadits, artinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, karena jikalau bersamaan dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:

laisa kamislihi syaiin wa huwassami’ul bashir, artinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.

Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu karena dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat, tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.

Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang mawujud.

Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.

Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta’ala itu memberi bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.

Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah.

4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya

Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.

Mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, karena Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.

Dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.

Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.

Adapun segala yang Mawujud menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia itu empat bahagi:

a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala

b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah Ta’ala

c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim yang baharu

d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala ‘aradh yang baharu

5. WAHDANIAH, artinya Esa

Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kammumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat, pada sifat, dan pada af’al.

Lawannya An-yakunu wahidan, artinya tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia Esa, karena jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini karena banyak yang memberi bekas.

Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara atau selatan, karena tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.

Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan didalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.

Adapun Wahdaniah pada zat menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.

b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

Maka Kammuttasil dan Kammumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni Esa dzat Allah Ta’ala.

Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.

Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.

Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.
Share

No comments: