Friday, November 6, 2009

Sifat 20 (Bahagian II)




Bahagian III: Sifat Ma’ani

Adapun hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman, artinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (yaitu Ma’nawiyah)

Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:

1. QUDRAT artinya Kuasa, Takluk pada segala mumkinun

2. IRADAT artinya Menentukan, takluk pada segala mumkinun

3. ILMU artinya Mengetahui, takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.

4. HAYAT artinya Hidup, tiada takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.

5. SAMA’ artinya Mendengar, takluk pada segala yang maujud.

6. BASYAR artinya Melihat, takluk pada segala yang maujud.

7. KALAM artinya Berkata-kata

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

1. Qudrat artinya Kuasa

Adapun hakikat Qudrat itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya

Adapun mumkin itu empat bahagi:

a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.

b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.

c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.

d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.

Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tiadalah ada alam ini karena yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.

Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan lemah.

* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.

* Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.

* Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.

* Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

2. Iradat artinya Menentukan

Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.

Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:

a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya

b. Menentukan Tempat mumkin itu

c. Menentukan Jihat mumkin itu

d. Menentukan Sifat mumkin itu

e. Menentukan Qadar mumkin itu

f. Menentukan Masa mumkin itu

Lawannya Karahat artinya tiada menentukan atau tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada berkehendak, karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini niscaya tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang ditentukan-Nya.

Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada berlazim karena:

Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya.

Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.

Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak.

Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.

Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

* Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan Karahat.

* Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.

* Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.

* Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.

* Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

3. Ilmu artinya Mengetahui

Adapun hakikat Ilmu itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.

Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.

Adapun yang mustahil itu yaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.

Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim

Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh karena jikalau ia Jahil atau bodoh niscaya tiadalah teratur atau tersusun segala pekerjaan didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.

Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

* Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan jahil.

* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.

* Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.

* Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

* Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

4. Hayat artinya Hidup

Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.

Lawannya maut artinya mati, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati karena jikalau Ia mati niscaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang tiada mati.

Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

* Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan maut.

* Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.

* Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.

* Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

* Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain)

5. Sami’ artinya Mendengar

Adapun hakikat Sami’ itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau Muhadas.

Adapun mawujud yang Qadim yaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadas yaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.

Lawannya Sumum, artinya pekak atau tuli yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia pekak atau tuli karena jikalau Ia pekak atau tuli niscaya tiadalah dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.

Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .

Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

* Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan pekak.

* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.

* Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.

* Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

* Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

6. Bashir artinya Melihat

Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau muhadas.

Adapun mawujud yang Qadim itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.

Adapun mawujud yang muhadas itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan diadakan.

Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.

Lawannya ‘Umyun, artinya buta, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta

Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.

Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

* Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan buta.

* Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.

* Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.

* Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

* Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

7. Kalam artinya Berkata-kata

Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.

Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.

Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.

Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

* Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.

* Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.

* Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.

* Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

* Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

Bahagian IV: Sifat Ma’nawiyah

Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai yaitu tujuh sifat pula:

1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat

2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat

3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat

4. HAYYUN, artinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat

5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat

6. BASIRUN, artinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat

7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat

Bahagian V: Sifat Istighna

Artinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, artinya Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang lain.

Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.

Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:

Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Kiyamuhubinafsihi, Sami’, Basir, Kalam, Sami’un, Basirun dan Muttakalimun.

Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat Istighna yaitu

1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil faedah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya

2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang menyempurnakan-Nya

3. Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi sesuatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh

Bahagian VI: Sifat Ifthikhor

Artinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthikhor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.

Apabila dikatakan berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,

Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:

1. Qudrat

2. Iradat

3. Ilmu

4. Hayat

5. Qodirun

6. Muridun

7. ‘Alimun

8. Hayyun

9. Wahdaniah

Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat Ifthikhor:

1. Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya karena lajim ketika itu bersamaan derejat-Nya

2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya karena lajim ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.

Maka sekarang telah nyata pada kita bahwa duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan duapuluh dua (22) sifat Ifthikhar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) ‘akaid yang terkandung didalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa mustaghniyun angkullu maasiwahu, artinya tiada yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya dan berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.

Ini makna yang pertama maka daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):

1. Wajibal wujud, yaitu yang wajib adanya.

2. Ishiqoqul ibadah, yaitu yang mustahak bagi-Nya ibadah

3. Kholikul ‘alam, yaitu yang menjadikan sekalian alam

4. Maghbudun bihaqqi, yaitu yang disembah dengan sebenar-benarnya.

Ini makna yang kedua maka daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:

Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.

Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat

Adapun yang dinafikan itu sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan: laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah

Laa = nafi, Ilaha = menafi, ila = isbat, Allah = meng-isbat

Yang kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi sepeti sabda nabi : laa yufarriqubainannafi wal-isbati wamamfarroqu bainahumaa fahuwa kaafirun, artinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan kafir.

Seperti asap dengan api. Asap itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah artinya nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu.

AQAI’DUL IMAN

Adapun Aqa’idul Iman itu lima bahagi:

1. Aqa’idul Iman 50, yaitu dengan ringkas untuk mengesahkan iman kita dan wajib diketahui bagi tiap-tiap orang islam yang baligh lagi beraqal laki-laki atau perempuan yang mula hendak mengerjakan ibadah kepada Allah Ta’ala, jikalau tiada kita mengetahui Aqa’idul Iman yang ringkas ini maka tiadalah syah ibadah kita kepada Allah Ta’ala yaitu 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil dan 1 sifat yang harus maka dijumlahkan jadi 41 dan 4 sifat yang wajib bagi rasul dn 4 sifat pula yang mustahil dan 1 sifat yang harus pada rasul maka jadi 9, maka dijumlahkan dengan 41, jadi 50 Aqa’id

2. Aqa’idul Iman 60

3. Aqa’idul Iman 64

4. Aqa’idul Iman 66

5. Aqa’idul Iman 68

Adapun Aqa’idul Iman yang empat (4) kemudian ini untuk ma’rifat yaitu untuk membedakan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu, dan membedakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu dan membedakan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu, maka kesemuanya itu benar, hanya perselisihannya pada Rukun Iman sahaja, setengahnya tiada dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara, maka jadi 60, setengahnya dimasukkan Rukun Iman tetapi tiada dimasukkan lawannya, maka jadi 64, dan setengahnya dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara dan lawannya , maka jadilah 68 dan yang 66 tiada masyhur sebab tiada dimasukkan satu (1) sifat yang wajib bagi Rasul dan lawannya maka inilah sebab menjadi 66.

Maka baharulah jadi Syahadat itu dua (2) bahagi:

1. Syahadat Tauhid, yaitu Ashadu anllaa ilaha ilallah

2. Syahadat Rasul, yaitu Ashadu ana muhammadarrasuulullaah

Adapun Fardhu Syahadat itu dua perkara:

1. Diikrarkan dua kalimah itu dengan lidah

2. Ditasdiqkan makna itu kedalam hati

Syarat Syahadat itu empat perkara:

1. Diketahui apa isi didalam dua kalimah itu

2. Diikrarkan dua kalimah itu dengan lidah

3. Ditasdiqkan maknanya itu kedalam hati

4. Diyakinkan sungguh-sungguh didalam hati

Rukun Syahadat itu empat perkara:

1. Mengisbatkan dzat Allah Ta’ala dzat yang wajibal wujud

2. Mengisbatkan sifat Allah Ta’ala sifat yang kamalat atau sifat yang kesempurnaan

3. Mengisbatkan af’al Allah Ta’ala memberi bekas dan yang berlaku dalam alam ini semua perbuatannya

4. Mengisbatkan kebenaran Rasulullah dan Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah

Kesempurnaan Syahadat itu empat (4) perkara:

1. Diketahui

2. Diikrarkan dengan lidah

3. Ditasdiqkan maknanya didalam hati

4. Diamalkan dari dalam hati hingga melimpah keseluruh anggota

Yang Membinasakan Syahadat itu empat (4) perkara:

1. Syak hatinya pada Allah Ta’ala

2. Menduakan Allah Ta’ala

3. Menyangkal dirinya dijadikan Allah Ta’ala

4. Tiada mengisbatkan dzat, sifat dan af’al Allah Ta’ala dan kebenaran Rasul

Adapun dzikir itu tiga (3) bahagian

1. Dzikir lidah yaitu: Laa ilaha ilallah

2. Dzikir hati yaitu: Allah

3. Dzikir sirr yaitu: Huwa

Adapun Laa ilaha ilallaah dzikir orang Syari’at

Adapun Allah… Allah… dzikir orang Tarikat

Adapun Huwa… Huwa… dzikir orang Hakikat

Laa ilaha ilallaah itu makanan Jasmani

Allah… Allah… itu makanan Qalbu

Huwa… Huwa… itu makanan Ruhani

ALLAH

Alif = Dzat

Lam = Sifat

Lam = Af’al

Ha = Asma’

No comments: