Saudaraku, semoga Alloh melimpahkan taufik kepada kita semua, kenyataan terkadang membuat seseorang harus menggigit jari. Karena apa yang diinginkannya tidak tercapai, maka mulailah pikirannya melayang-layang dan berandai-andai. Seandainya dulu begini, seandainya kemarin tidak begitu, dan seterusnya. Nah, bagaimanakah Islam memandang pengandaian?
Segala Sesuatu Terjadi Dengan Takdir
Iman kepada takdir adalah salah satu pilar Islam. Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diketahui oleh Alloh sebelum hal itu terjadi. Dan Alloh juga telah memerintahkan pena takdir untuk mencatat segala peristiwa yang akan terjadi hingga hari kiamat 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Kehendak Alloh pasti terlaksana, tidak ada yang bisa mengelakkannya. Semua makhluk dan perbuatannya merupakan buah dari ciptaan-Nya. Hal ini tentu akan membuat hati seorang yang beriman merasakan ketentraman. Dia akan beramal sebaik-baiknya dan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Alloh sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Maka salah satu sifat yang harus dipunyai oleh seorang muslim ialah bersikap pasrah terhadap takdir dan tidak memprotes keputusan Allah Ta’ala. Sehingga apabila musibah menimpa maka hati mereka merasa ridha terhadap perbuatan-Nya dan bersabar dalam menghadapi musibah. Inilah kewajiban kita.
Bersemangatlah!
Rosulullah sallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan Allah dan jangan lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata, ‘Seandainya aku dulu berbuat begini niscaya akan menjadi begini dan begitu’ Akan tetapi katakanlah, ‘QaddarAllohu wa maa syaa’a fa’ala, Allah telah mentakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya’. Karena perkataan seandainya dapat membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim)
Imam Ibnu Qayyim rohimahulloh mengatakan, “Letak kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini: ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya…”
Beliau rohimahulloh juga mengatakan, “Karena munculnya semangat dalam diri seseorang serta perbuatannya hanya bisa terwujud dengan pertolongan serta kehendak dan taufik dari Allah maka beliau (Nabi sallallohu ‘alaihi wa sallam) memerintahkan supaya (kita) meminta pertolongan-Nya. Demi tergabungnya maksud iyyaaka na’budu (melakukan peribadahan) dan waiyyaaka nasta’iin (memohon pertolongan) di dalam dirinya. Oleh karena semangat seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya termasuk ibadah kepada Allah. Sedangkan hal itu tidak akan bisa diwujudkan kecuali dengan pertolongan Allah. Maka beliau pun memerintahkan (kita) untuk beribadah dan sekaligus meminta pertolongan kepada-Nya.” (Ibthaalu tandiid, Syaikh Hamad bin’Atiq)
Hasil yang Tidak Memuaskan
Pahit…! Hasil yang kita idam-idamkan tidak menjadi kenyataaan. Sudah belajar mati-matian tapi tidak lulus ujian. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap? Menjadi orang yang lemah ataukah menjadi orang yang tabah? Nabi saollallohu ‘alaihi wa sallam melarang kita merasa lemah. Karena perasaan lemah ketika tertimpa musibah akan membangkitkan celaan, protes serta kemarahan dan sedih di dalam diri. Padahal itu semua termasuk perbuatan syaitan untuk melemahkan manusia itu sendiri dari mengingati Allah. Maka Nabi sallallohu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengucapkan “Seandainya demikian maka demikian” karena ucapan itu akan membuka celah munculnya hal-hal tersebut. Orang yang tabah menyedari bahwa semuanya sudah ditakdirkan. Dia tidak menyesali kesungguhan dan upaya yang sudah ditempuhnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan kita untuk berkata, “QaddarAllohu wa maa syaa’a fa’ala”. Biarlah terjadi karena memang itulah yang sudah ditakdirkan Allah. Tiada gunanya mengeluh dan berandai-andai. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh mengatakan bahwa salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas ialah “Adanya larangan yang sangat tegas dari mengucapkan seandainya ketika musibah menimpa anda” (Kitab Tauhid). Pengandaian ini haram karena adanya unsur penyesalan, kesedihan dan tidak mau menerima kenyataan.
Macam-Macam Pengandaian
Para pembaca yang budiman, selain bentuk pengandaian yang telah disebutkan di atas, ada juga bentuk pengandaian terlarang yang lainnya yaitu apabila ditujukan untuk: (1) Menentang hukum syari’at. Seperti ucapan kaum munafik yang membelot dari pasukan kaum muslimin, “Seandainya mereka (para sahabat) mentaati kami (membelot dan tidak taat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) niscaya mereka tidak akan terbunuh (dalam perang Uhud)”. Ucapan ini haram dan bahkan bisa menjerumuskan ke dalam kekafiran (2) Menentang takdir. Seperti ucapan, “Seandainya aku tidak dilahirkan oleh ibuku”. Perkataan semacam ini haram karena di dalamnya terdapat penolakan terhadap takdir. (3) Beralasan dengan takdir untuk melakukan kemaksiatan. Seperti perkataan orang-orang kafir, “Seandainya Allah ingin niscaya kami tidak akan berbuat syirik” (Al An’aam: 148) Ini jelas batil dan haram hukumnya. (5) Untuk berangan-angan yang tercela. Misalnya dengan berkata, “Seandainya aku punya duit aku akan membeli -belah”. Maka dengan tekad dan ucapan semacam ini dia juga berdosa, sebagaimana orang yang benar-benar melakukannya mendapatkan dosa.
Akan tetapi ada pengandaian yang diperbolehkan: (1) Berandai-andai dalam mengangankan sesuatu yang terpuji. Misalnya mengatakan, “Seandainya saya punya harta saya akan bersedekah sebagaimana si fulan.” (2) Berandai-andai untuk sekedar mengabarkan keadaan. Sepeti perkataan, “Seandainya kamu tadi datang kepada pelajaran niscaya kamu mendapatkan faidah yang berharga.” Seperti sabda Nabi, “Seandainya kaummu bukan orang yang baru masuk Islam niscaya akan aku pulihkan bangunan ka’bah di atas pondasi yang diletakkan oleh Ibrahim.” (lihat Al Qaul Al Mufid, Syaikh Al ‘Utsaimin dan Ibthaalu tandiid, Syaikh Hamad bin ‘Atiq rohimahumalloh)
Para pembaca yang mulia, sudah semestinya kita terapkan ilmu ini dalam kehidupan keseharian kita. Ketika kita tidak berhasil memperoleh apa yang kita inginkan. Janganlah terbuai dengan pengandaian dan angan-angan. Karena hal itu akan membuka jalan syaitan untuk berkeliaran menusuk-nusuk hati kita dengan perasaan jengkel, protes dan marah terhadap takdir Alloh. Padahal kita tahu, Allah Maha adil dan bijaksana. Bisa jadi musibah ini merupakan sebab terhindarnya kita dari bencana yang lebih dahsyat darinya. Allah lebih tahu apa yang lebih bermanfaat bagi kita. Adapun kita, kita ini bodoh dan zalim. Maka marilah kita dalami lagi agama-Nya dan bermuhasabahi diri sekali lagi. Perintah apa yang kita lalaikan, larangan apa yang kita bu, dimanakah letak kekeliruan kita, jangan-jangan selama ini dosa kita sudah menggunung tanpa kita sedari, atau kita tidak ikhlas. Atau selama ini kita berusaha semata-mata mengandalkan diri sendiri dan lalai dari memohon pertolongan Allah, sehingga Allah pun membiarkan kita mengurusi diri kita sendiri. Nas’alulloha salamatan wal ‘afiyah.
Sama2 lah kita bermuhasabah diri kita ini.
Posted by khalifah on October 28 Team Scripters.Ning
No comments:
Post a Comment